Ada hal yang lebih menjengkelkan daripada dikritik, yaitu ketika lawan bicara terus-menerus memotong pembicaraan kita. Menariknya, menurut penelitian Harvard Business Review, orang yang sering memotong omongan cenderung ingin menunjukkan dominasi, bukan sekadar tidak sabar. Fenomena ini bukan sekadar persoalan etika komunikasi, melainkan pertarungan halus soal kuasa dalam percakapan.
Dalam kehidupan sehari-hari, situasi ini sangat mudah ditemui. Entah saat rapat kerja, diskusi santai dengan teman, atau bahkan ketika berbincang dengan keluarga. Rasanya seperti suara kita tidak dihargai, seolah apa yang ingin kita sampaikan tidak penting. Namun di sinilah letak seni komunikasi yang sebenarnya. Menghadapi orang yang suka memotong omongan tidak cukup hanya dengan marah atau diam, melainkan dengan strategi yang membuat kita tetap didengar tanpa harus kehilangan wibawa.
1. Jaga Kontak Mata dan Tegaskan Posisi
Orang yang sering memotong biasanya berharap kita kehilangan arah. Di titik inilah kontak mata menjadi senjata. Dengan menatap tenang namun tegas, kita memberi pesan nonverbal bahwa pembicaraan belum selesai. Banyak yang meremehkan efek sederhana ini, padahal psikologi komunikasi membuktikan bahwa kontak mata bisa memaksa orang lain untuk mendengar.
Misalnya saat rapat, ketika seorang rekan langsung menyela, Anda bisa berhenti sejenak, menatapnya, lalu melanjutkan kalimat dengan nada stabil. Gestur itu menegaskan bahwa Anda tidak akan menyerahkan giliran bicara begitu saja. Tanpa perlu membentak, posisi Anda tetap kokoh.
Kontak mata bukan sekadar soal keberanian, melainkan strategi mengendalikan ruang percakapan. Dengan cara ini, lawan bicara dipaksa menyadari bahwa percakapan memiliki giliran yang harus dihormati.
2. Gunakan Kalimat Penahan yang Elegan
Ada cara halus tapi ampuh untuk menghadapi pemotongan omongan: kalimat penahan. Ungkapan seperti “Izinkan saya menyelesaikan dulu” atau “Saya akan sampai ke poin itu sebentar lagi” terdengar sopan, namun jelas menegaskan hak bicara.
Dalam percakapan sehari-hari, strategi ini membuat alur komunikasi tetap terjaga. Misalnya, saat sedang menjelaskan ide dan seseorang menyela dengan argumen lain, Anda bisa langsung berkata, “Bagus, tapi izinkan saya menyelesaikan bagian ini dulu.” Kalimat ini bukan hanya menahan, tetapi juga merangkul lawan bicara agar menunggu.
Efektivitas kalimat penahan terletak pada kesederhanaannya. Ia tidak menyerang, tetapi tetap mempertahankan kendali. Ini adalah bentuk komunikasi cerdas yang bisa membuat lawan bicara lebih disiplin tanpa merasa dipermalukan.
3. Alihkan Energi dengan Memberi Ruang Sementara
Terkadang, orang yang suka memotong justru semakin agresif ketika ditentang keras. Dalam situasi seperti ini, memberi mereka ruang sebentar bisa menjadi strategi cerdas. Biarkan mereka bicara, lalu tanggapi singkat sebelum kembali ke poin utama Anda.
Contohnya, dalam diskusi kelompok, ketika seseorang memotong dan langsung mengajukan pandangan, Anda bisa berkata, “Itu menarik, setelah ini saya akan kembali ke ide yang tadi saya sampaikan.” Dengan begitu, Anda menunjukkan fleksibilitas tanpa kehilangan arah percakapan.
Memberi ruang sesaat bukan tanda kelemahan, melainkan teknik mengendalikan tempo. Dengan cara ini, alur diskusi tidak sepenuhnya dikuasai oleh si pemotong, dan audiens tetap menunggu Anda menyelesaikan poin.
4. Perkuat Suara dan Intonasi
Sering kali, pemotongan terjadi karena suara kita tenggelam. Orang yang berbicara dengan intonasi lemah lebih mudah diabaikan. Maka, memperkuat suara dan menekankan intonasi menjadi cara efektif agar orang sadar bahwa kita belum selesai berbicara.
Contoh paling sederhana adalah saat mengemukakan ide. Jika tiba-tiba dipotong, lanjutkan dengan suara sedikit lebih tegas pada kata kunci. Bukan berteriak, tapi memberikan aksen pada kalimat penting sehingga perhatian kembali tertuju pada Anda.
Intonasi adalah bahasa kekuatan. Dengan penguasaan nada suara, orang lain akan lebih berhati-hati sebelum menyela, karena merasa ada bobot dalam setiap kalimat Anda.
5. Gunakan Humor untuk Meredakan Tegangan
Menghadapi orang yang sering memotong tidak harus selalu serius. Humor yang tepat bisa melunakkan suasana sekaligus mengembalikan kendali percakapan. Misalnya, saat disela berkali-kali, Anda bisa berkata sambil tersenyum, “Sepertinya Anda sudah tahu apa yang akan saya katakan.”
Respon ringan seperti ini membuat orang lain sadar bahwa perilakunya terlihat jelas, namun tanpa menimbulkan konfrontasi. Humor menciptakan jarak emosional yang membuat Anda tetap menguasai situasi tanpa menyinggung langsung.
Dengan humor, percakapan jadi lebih cair. Lawan bicara berhenti memotong karena malu, sementara audiens lain melihat Anda sebagai pribadi yang cerdas dan fleksibel.
6. Jangan Terjebak dalam Emosi
Godaan terbesar saat dipotong adalah melampiaskan emosi. Namun justru di sinilah kesalahan sering terjadi. Balasan emosional hanya akan memperkeruh suasana dan memberi ruang bagi lawan bicara untuk mendominasi.
Kunci menghadapi situasi ini adalah tetap tenang. Misalnya, ketika rekan diskusi memotong dengan nada tinggi, Anda bisa tetap melanjutkan dengan nada netral tanpa terpancing. Ketidaktersulutan itu sendiri adalah bentuk kemenangan.
Menjaga emosi bukan berarti mengalah. Sebaliknya, itu menunjukkan penguasaan diri. Dalam jangka panjang, orang lebih menghormati lawan bicara yang mampu bertahan tanpa kehilangan kontrol.
7. Tegaskan dengan Sopan Jika Pola Terus Berulang
Jika pemotongan terjadi berulang-ulang, maka dibutuhkan penegasan langsung. Namun penegasan tidak harus keras. Kalimat sederhana seperti, “Saya akan lebih nyaman jika bisa menyelesaikan dulu sebelum kita diskusi,” bisa menyampaikan pesan kuat dengan cara sopan.
Dalam konteks rapat, hal ini sangat efektif. Audiens lain pun akan menilai bahwa Anda mengedepankan kejelasan komunikasi. Penegasan sopan tidak hanya menyelesaikan masalah saat itu, tetapi juga memberi batasan jelas agar pola serupa tidak terus berulang.
Dengan begitu, Anda tidak hanya mempertahankan hak bicara, tetapi juga membangun budaya komunikasi yang lebih sehat di lingkungan Anda.
Menghadapi lawan bicara yang suka memotong memang membutuhkan seni. Tidak sekadar melawan, melainkan mengendalikan. Menariknya, di ruang privat logikafilsuf, seni ini dibedah lebih detail agar bisa dipraktikkan dalam berbagai konteks sosial, dari ruang rapat hingga obrolan santai.
Menurut Anda, lebih sulit mana: menghadapi orang yang memotong dengan sengaja untuk menunjukkan kuasa, atau mereka yang melakukannya karena tidak sadar? Bagikan pendapatmu di komentar dan sebarkan tulisan ini agar lebih banyak orang belajar seni menjaga suara mereka tetap didengar.
Ridickpuad